Skip to main content

Bermedia Sosial Sehat


Entah berapa banyak manfaat dari media sosial, yang jelas, untuk menyambung tali silaturohmi, berbisnis, berselfie, menyebar informasi dan banyak lagi.

Media sosial merupakan sebuah alat. Ia bisa digunakan secara bijak ataupun tidak tergantung pemakai.

Secara global, berita palsu/bohong dan negatif lainnya sudah menjangkiti masyarakat dunia. Masyarakat harus pandai dalam memilah dan memilih berita yang baik dan benar. Kemampuan ini tentunya tidak dimiliki semua masyarakat.

Media sosial di tanah air sendiri sudah mulai beralih fungsi walau tidak signifikan. Dari biasanya sekedar curhat, selfie dan hal-hal remeh lainnya menjadi tempat ajang politik, tuding menuding dan negatif lainnya.

Sebenarnya media sosial mau dijadikan tempat apapun itu baik. Selain kebebasan mengungkapkan pendapat dijamin oleh Undang-undang. Namun, tentunya dalam setiap kebebasan ada batasannya. Seperti dilarang menyebar berita bohong/palsu dan kebencian.

Bagi umat muslim, menyebar berita bohong dan kebencian merupakan hal yang haram, dengan dikeluarkannya fatwa MUI. Fatwa tersebut hanya bersifat mengikat umat muslim Indonesia dan pertanggungjawabannya kelak di akhirat.

Bagi penulis, bermedia sosial salah satu hal yang sering dilakukan. Pertama untuk mengupdate informasi sekitar baik daerah sendiri maupun luar daerah dan tanah air. Kedua untuk menjaga tali silaturohmi dengan teman, keluarga dan handai taulan. Ketiga untuk berbisnis dan terakhir untuk menunjukkan eksistensi diri.

Media sosial sudah mulai begitu ramai dan terkesan sangat kacau penulis rasakan sebelum dan setelah pemilihan presiden 2014. Sangat luar biasa masifnya media sosial memberitakan ajang pilpres ini.

Baik jika para netizen memberikan informasi yang sahih mengenai para kandidat. Namun, penulis merasakan betapa banyak informasi yang sangat membingungkan.

Kembali lagi, media sosial sebagai alat, pemakailah yang 100 persen mengendalikan bagaimana ia bermedia sosial.

Penulis sendiri sangat prihatin dengan media sosial belakangan ini. Sehingga berinisiatif sendiri agar media sosial penulis tidak dalam radar kebencian dan kebohongan.

Langkah yang penulis lakukan adalah:
1. Dengan membisukan dan menyembunyikan akun-akun yang berseliweran di timeline penulis yang terindikasi menyebar berita bohong, kebencian dan ajakan yang tidak masuk akal.
2. Jika ada tokoh masyarakat, wakil masyarakat yang tidak empati dan meruncingkan permasalahan yang sebenarnya sederhana, penulis langsung bisukan dan sembunyikan. Screenshoot lalu sanksi sosial bagi wakil rakyat yang demikian adalah penulis buang dari daftar wakil yang akan dipilih.

Langkah diatas dirasakan sangat ampuh. Walau tidak seratus persen manjur. Setidanya media sosial penulis menjadi ramah dan masuk akal.

Media sosial adalah alat, pengguna adalah yang mengendalikan sepenuhnya. Media sosial ingin bermanfaat ataupun hanya menjadi tempat sampah yang bau dan kotor. Seratus persen ada pada tangan pengguna.

Comments

Popular posts from this blog

PIlgub Jabar 2018, 2013 dan 2008, Bedakah?

Masih ingat dibenak ketika pilgub atau tahun 2008 disebut pilkada Jawa Barat diselenggarakan, konstelasi politik saat itu tidak seramai saat ini, media sosial belum banyak digunakan selain oleh para anak muda dan kalangan terbatas. Pemilihan langsung gubernur menunjukkan trend yang disebut biasa saja. Karena, konsentrasi pemilihan umum tetap pada pemilihan umum nasional. Mungkin karena saat itu, pemilihan umum kepala daerah secara langsung masih dalam tahap awal perkenalan kepada masyarakat. Pada kuliah umum tahun 2010, profesor (saya lupa nama beliau) mengatakan bahwa pemilihan umum kepala daerah jawa barat tempo lalu menang kontestasi salah satu faktor penentunya adalah kegantengan calon. Walau strategi itu gagal dipakai oleh Andre Taulani, tapi berhasil dipakai oleh Ungu Pasha dan tentunya Dede Yusuf saat pilkada 2008. Pada pilkada jabar 2008 telah membuktikan bahwa kandidat yang diusung dua partai dapat mengalahkan kandidat incumben dan kandidat yang diusung oleh banyak partai,

Manusia Menyembah Manusia(?)

Meningkatkan efektifitas dan efisiensi, kalimat itu pernah saya dengar dari jaman masih sekolah dasar sampai dengan sekarang. Seringkali dilontarkan oleh para pejabat publik, entah dalam setiap pidato ataupun tatap muka. Jaman orde baru kalau tak salah di TVRI ada acara dinamika pembangunan, saresehan, kelompencapir dan lain-lain. Ada satu acara lagi dimana pak Harto berdialog dengan rakyat, yang konooooonnnn katanya dialog tersebut sudah diskenariokan. Efektif dan efisien, penting dijaga dalam suatu perusahaan untuk menjaga kualitas dan kuantitas keluaran produksi (barang/jasa). Menjaga efektifitas suatu keluaran tentunya dibutuhkan beberapa hal, seperti baiknya sinergi komunikasi di internal perusahaan dalam hal ini antar karyawan, maupun komunikasi dua arah pimpinan kepada bawahan. Selain itu aturan perusahaan dalam hal standar operasional perusahaan yang baku tapi flexibel tak kalah pentingnya dalam menjaga efektifitas. Efisiensi perusahaan sendiri terikat dan berhubunga

Mengapa Program Perubahan Tidak Menghasilkan Perubahan?

“Why Change Programs Don’t Produce Change” Harvard Business Review tahun 1990 (Mengapa Program Perubahan/Pembaruan tidak Menghasilkan Perubahan/Pembaruan) Kebanyakan program perubahan tidak berjalan karena dipandu oleh sebuah teori perubahan yang secara fundamental cacat. Menurut model ini, perubahan adalah seperti sebuah pengalaman  konversi. Bila orang “masuk agama,” perubahan perilaku mereka tentu akan mengikuti. Demikian pula, perilaku individu dibentuk dengan kuat oleh peran-peran organisasional yang dimainkan orang. Oleh karena itu, cara paling efektif untuk mengubah perilaku adalah memasukkan orang ke dalam suasana organisasi yang baru, yang menentukan peran-peran baru, tanggung jawab baru, dan hubungan yang baru pada diri mereka.