Skip to main content

PIlgub Jabar 2018, 2013 dan 2008, Bedakah?

Masih ingat dibenak ketika pilgub atau tahun 2008 disebut pilkada Jawa Barat diselenggarakan, konstelasi politik saat itu tidak seramai saat ini, media sosial belum banyak digunakan selain oleh para anak muda dan kalangan terbatas. Pemilihan langsung gubernur menunjukkan trend yang disebut biasa saja. Karena, konsentrasi pemilihan umum tetap pada pemilihan umum nasional. Mungkin karena saat itu, pemilihan umum kepala daerah secara langsung masih dalam tahap awal perkenalan kepada masyarakat.

Pada kuliah umum tahun 2010, profesor (saya lupa nama beliau) mengatakan bahwa pemilihan umum kepala daerah jawa barat tempo lalu menang kontestasi salah satu faktor penentunya adalah kegantengan calon. Walau strategi itu gagal dipakai oleh Andre Taulani, tapi berhasil dipakai oleh Ungu Pasha dan tentunya Dede Yusuf saat pilkada 2008.

Pada pilkada jabar 2008 telah membuktikan bahwa kandidat yang diusung dua partai dapat mengalahkan kandidat incumben dan kandidat yang diusung oleh banyak partai, bahkan incumben sendiri diusung oleh partai Golkar. Secara kasat mata, kebesaran dan dukungan banyak partai pada pilkada 2008 telah gagal membuat kandidat memenangkan kontestasi pilkada.

Pada kontestasi pilkada 2013 kalau tidak salah ada lima calon kandidat. Incumben alias Ahmad Heryawan, Yance, Dede Yusuf, Diah Pitaloka dan satu kandidat dari independen.

Lagi, pilkada 2013 masih bertemakan kebesaran dan banyaknya dukungan partai. Bahkan salah satu kandidat menggunakan baju khas yang digunakan oleh Pak Jokowi memenangkan kontestasi pilgub 2012 di DKI Jakarta sebelumnya yakni baju kotak-kotak.

Perang baligo, pamflet pada 2013 masih mendominasi. Dan strategi baru alias baju kotak-kotak dan Jokowi saat itu gubernur DKI Jakarta bahkan ikut berkampanye. Tapi somehow, incumben alias Ahmad Heryawan menang mengungguli kontestan lainnya. Strategi yang dipakai incumben saat itu kalau tidak salah menggaet Deddy Mizwar sebagai calon wakil gubernur.

Pilgub 2018 yang akan datang bau-baunya masih tetap menonjolkan kebesaran dan banyaknya dukungan partai.




Prestasi, keberhasilan dan visi misi kandidat, dibuat kabur dan suram. Isu agama dan sara berusaha ditonjolkan. Bahkan, dikait-kaitkan dengan siapa dibalik siapa. Aroma dendam kekalahan pilpres 2014 masih kental hingga saat ini dihembuskan oleh segelintir orang dan orang-orang terdekat.

Tapi, di alam demokrasi, tetap, apapun bisa saja terjadi. Bahkan orang siapa saja bisa saja dari antah berantah sekalipun bisa saja terpilih.

Jika boleh urun saran, pilgub 2018 nanti hendaknya dilaksanakan secara profesional oleh semua partai politik dan para kandidat. Usunglah calon yang memang baik secara kemampuan dan keahlian. Bukan didasarkan suka atau tidak suka partai atau patau tidak patuh kandidat.

Eliminir isu-isu agama dan sara di pilgub 2018. Saya rasa isu tersebut sudah membuktikan banyak kerugian bagi umat, pertumbuhan umat dan kerugian yang nyata antar umat beragama.

Pilgub Jawa Barat telah membuktikan apa yang berhasil pada pilgub DKI 2012 tidak berhasil di pilgub jabar 2013.

Dan pilgub 2013 sudah membuktikan apa yang berhasil di pilgub 2008 tidak berhasil dilaksanakan.



*Penulis lulusan ilmu pemerintahan STISIP BP Banjar 2014, aktif sebagai pemerhati politik dan sosial sejak 2015.





Comments

Popular posts from this blog

Manusia Menyembah Manusia(?)

Meningkatkan efektifitas dan efisiensi, kalimat itu pernah saya dengar dari jaman masih sekolah dasar sampai dengan sekarang. Seringkali dilontarkan oleh para pejabat publik, entah dalam setiap pidato ataupun tatap muka. Jaman orde baru kalau tak salah di TVRI ada acara dinamika pembangunan, saresehan, kelompencapir dan lain-lain. Ada satu acara lagi dimana pak Harto berdialog dengan rakyat, yang konooooonnnn katanya dialog tersebut sudah diskenariokan. Efektif dan efisien, penting dijaga dalam suatu perusahaan untuk menjaga kualitas dan kuantitas keluaran produksi (barang/jasa). Menjaga efektifitas suatu keluaran tentunya dibutuhkan beberapa hal, seperti baiknya sinergi komunikasi di internal perusahaan dalam hal ini antar karyawan, maupun komunikasi dua arah pimpinan kepada bawahan. Selain itu aturan perusahaan dalam hal standar operasional perusahaan yang baku tapi flexibel tak kalah pentingnya dalam menjaga efektifitas. Efisiensi perusahaan sendiri terikat dan berhubunga

Mengapa Program Perubahan Tidak Menghasilkan Perubahan?

“Why Change Programs Don’t Produce Change” Harvard Business Review tahun 1990 (Mengapa Program Perubahan/Pembaruan tidak Menghasilkan Perubahan/Pembaruan) Kebanyakan program perubahan tidak berjalan karena dipandu oleh sebuah teori perubahan yang secara fundamental cacat. Menurut model ini, perubahan adalah seperti sebuah pengalaman  konversi. Bila orang “masuk agama,” perubahan perilaku mereka tentu akan mengikuti. Demikian pula, perilaku individu dibentuk dengan kuat oleh peran-peran organisasional yang dimainkan orang. Oleh karena itu, cara paling efektif untuk mengubah perilaku adalah memasukkan orang ke dalam suasana organisasi yang baru, yang menentukan peran-peran baru, tanggung jawab baru, dan hubungan yang baru pada diri mereka.