Skip to main content

Idealisme Pemimpin dan Idealis Rakyat

nonprofitquarterly.org

Masih ingat ketika "sang pangeran" Niccola Machiavelli bersabda, Apabila ingin melihat lembah, maka naiklah ke puncak gunung. Namun jika yang ingin kita lihat adalah gunung tersebut, maka turunlah ke lembah. Menggunakan analogi yang sama, jika ingin mengetahui sifat rakyat, maka jadilah penguasa. Namun apabila yang ingin kita lihat dan pahami adalah sifat dan karakteristik dari penguasa, tidak ada cara yang lebih jelas selain menjadi rakyat terlebih dahulu.

Tarik menarik antara menjadi rakyat yang taat dan menjadi pemimpin yang dicintai rakyatnya keduanya tidak bisa dipisahkan, pemimpin tidak bisa disebut pemimpin jika tak ada yang dipimpinnya, sebaliknya, rakyat membutuhkan pemimpin untuk diarahkan, diatur serta disejahterakan untuk kehidupan yang lebih baik. Jika tak ada pemimpin, semua menjadi liar, tak terarah bagai butiran debu berserakan menimbulkan anarkis dan terjerumus kegelapan.

Rakyat membutuhkan panutan atau bahasa inggrisnya ROLE MODEL, bukan sekedar ungkapan serta untaian kata-kata mutiara bak seorang motivator, berwajah rupawan, berbadan atletis dan pandai mengungkapkan peribahasa.

Pemimpin yang bisa menyentuh lapisan akar rumput dan merangkul lapisan atas serta bergerak lurus tanpa kepentingan apapun demi mencapai misi dan visi yang sudah ditetapkan bersama.

Manusia dilahirkan memiliki rasa ketidakamanan. Lihat dan dengar saja seorang bayi yang baru lahir, ia menangis, karena ia harus keluar dari rasa aman dalam rahim. Atau ketika manusia dilanda bencana alam, ia akan berteriak lantang menyebut nama Illahi. Rasa tidak aman, adalah fitrah manusia. Ia diberikan yang maha kuasa agar manusia tetap waspada dan terus bisa mengingatNya.

Masih ingat, dosen saya pernah berkata, ketakutan terbeswar adalah menghadapi ketakutan itu sendiri. Manusia akan selalu ketakuatan, ketakutan akan dirinya, akan orang lain, akan hartanya dan atau akan jabatan serta kedudukannya.

Pemimpin tidak perlu seorang yang cerdas, pintar atau bahkan rupawan/jelita. Aristoteles berkata, pemimpin itu cukuplah seroang pemimpin yang baik. Pemimpin yang baik akan selalu cerdas, adil, pintar dan bijaksana.

Entah bagaimanapun, tidak pernah ada yang baik, karena sudut pandang manusia diciptakan tidaklah sama. Ketika ia melihat sebuah objek dari depan, maka komentarnya hanyalah bagian depannya, pun begitu, ketika ia melihat objek dari belakang, maka kementarnya pun hanyalah bagian belakang. Sangat subjektif, bisa objektif ketika manusia sudah ditempa pengalaman hidup. Ia sudah menyentuh lapisan bawah hingga ia bisa bangkit, terkadang ia tetap terjerembab dibawah sulit bangkit.

Manusia sangat sulit melepas masa lalu agar bisa menjalani masa depan. Namun, ia akan terus bergerak maju, karena waktu tak pernah ingkar janji, sehingga, Tuhan pun bersumpah demi waktu.

Pemimpin tidaklah harus pemimpin yang rupawan/jelita, pintar, seiman ataupun gagah. Cukuplah pemimpin itu yang baik. Pemimpin yang baik akan selalu dekat dengan rakyatnya, ia akan selalu ingin menyejahterakan rakyatnya. Karena tujuan dari menjadi pemimpin itu adalah menyejahterakan dan melindungi segenap tumpah darah.


Comments

Popular posts from this blog

PIlgub Jabar 2018, 2013 dan 2008, Bedakah?

Masih ingat dibenak ketika pilgub atau tahun 2008 disebut pilkada Jawa Barat diselenggarakan, konstelasi politik saat itu tidak seramai saat ini, media sosial belum banyak digunakan selain oleh para anak muda dan kalangan terbatas. Pemilihan langsung gubernur menunjukkan trend yang disebut biasa saja. Karena, konsentrasi pemilihan umum tetap pada pemilihan umum nasional. Mungkin karena saat itu, pemilihan umum kepala daerah secara langsung masih dalam tahap awal perkenalan kepada masyarakat. Pada kuliah umum tahun 2010, profesor (saya lupa nama beliau) mengatakan bahwa pemilihan umum kepala daerah jawa barat tempo lalu menang kontestasi salah satu faktor penentunya adalah kegantengan calon. Walau strategi itu gagal dipakai oleh Andre Taulani, tapi berhasil dipakai oleh Ungu Pasha dan tentunya Dede Yusuf saat pilkada 2008. Pada pilkada jabar 2008 telah membuktikan bahwa kandidat yang diusung dua partai dapat mengalahkan kandidat incumben dan kandidat yang diusung oleh banyak partai,

Manusia Menyembah Manusia(?)

Meningkatkan efektifitas dan efisiensi, kalimat itu pernah saya dengar dari jaman masih sekolah dasar sampai dengan sekarang. Seringkali dilontarkan oleh para pejabat publik, entah dalam setiap pidato ataupun tatap muka. Jaman orde baru kalau tak salah di TVRI ada acara dinamika pembangunan, saresehan, kelompencapir dan lain-lain. Ada satu acara lagi dimana pak Harto berdialog dengan rakyat, yang konooooonnnn katanya dialog tersebut sudah diskenariokan. Efektif dan efisien, penting dijaga dalam suatu perusahaan untuk menjaga kualitas dan kuantitas keluaran produksi (barang/jasa). Menjaga efektifitas suatu keluaran tentunya dibutuhkan beberapa hal, seperti baiknya sinergi komunikasi di internal perusahaan dalam hal ini antar karyawan, maupun komunikasi dua arah pimpinan kepada bawahan. Selain itu aturan perusahaan dalam hal standar operasional perusahaan yang baku tapi flexibel tak kalah pentingnya dalam menjaga efektifitas. Efisiensi perusahaan sendiri terikat dan berhubunga

Mengapa Program Perubahan Tidak Menghasilkan Perubahan?

“Why Change Programs Don’t Produce Change” Harvard Business Review tahun 1990 (Mengapa Program Perubahan/Pembaruan tidak Menghasilkan Perubahan/Pembaruan) Kebanyakan program perubahan tidak berjalan karena dipandu oleh sebuah teori perubahan yang secara fundamental cacat. Menurut model ini, perubahan adalah seperti sebuah pengalaman  konversi. Bila orang “masuk agama,” perubahan perilaku mereka tentu akan mengikuti. Demikian pula, perilaku individu dibentuk dengan kuat oleh peran-peran organisasional yang dimainkan orang. Oleh karena itu, cara paling efektif untuk mengubah perilaku adalah memasukkan orang ke dalam suasana organisasi yang baru, yang menentukan peran-peran baru, tanggung jawab baru, dan hubungan yang baru pada diri mereka.